Oleh : Ummu Naira Asfa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS) menjadi UU dalam Rapat Paripurna Selasa kemarin (12/2/2022). Sebanyak 311 orang anggota dewan menghadiri rapat paripurna tersebut.
Melansir Kompas (13/4/2022), UU TP-KS yang berisi 93 pasal dalam 8 bab memuat 10 poin penting yang dapat kita kritisi bersama. Di antaranya sebagai berikut.
1) Setiap perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan.
Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa pelecehan seksual nonfisik bisa berupa isyarat tulisan dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual. Hukuman bagi pelaku adalah pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Frasa “keinginan seksual” ini menurut penulis adalah frasa bermasalah karena maknanya bias dan ambigu. Orang bisa dengan bebas menafsirkannya sesuai keinginan masing-masing.
2) Melindungi korban revenge porn.
Revenge Porn adalah menyebarkan dokumen pribadi berbau seksual ke publik dengan disertai ancaman. Ini sangat bermasalah. Apakah jika dokumen seperti video rekaman itu tidak disebarkan ke publik atau tanpa ancaman lantas menjadi sesuatu yang dibolehkan? Terlihat muatannya kental sekali dengan perlindungan terhadap seks bebas.
Pasal 4 ayat (1) menyebutkan ada 9 (sembilan) TP-KS, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seks, perbudakan seks, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Menurut penulis, substansi dari frasa-frasa ini juga rancu dan rawan ditarik ulur ke sana-kemari sesuai keinginan personal. Selain itu, frasa-frasa tersebut berbahaya karena mengandung paradigma sexual consent (persetujuan seksual).
3) Pemaksaan hubungan seksual bisa dikenai pidana dan denda.
Pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa dipidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200 juta.
Lalu, bagaimana jika penggunaan alat kontrasepsi itu tidak dilakukan dengan kekerasan? Apakah kemudian menjadi ‘tidak melanggar hukum’ dan aktivitas seksualnya diperbolehkan walaupun melanggar norma agama (Islam)? Padahal, zina nyata-nyata termasuk dosa besar.
Selain itu, ada poin lain yang perlu kita perhatikan, yakni pemaksaan perkawinan (ancaman penjara dan denda), serta cukup satu keterangan saksi dan/atau korban dan 1 (satu) alat bukti untuk menentukan terdakwa TP-KS.
UU TPKS, Angin Segar bagi Liberalisasi Seksual
Setelah penantian panjang selama enam tahun, UU P-KS disahkan juga. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyampaikan bahwa UU TP-KS dianggap sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual, melindungi korban, menegakkan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak terulangnya kasus kekerasan seksual.
UU ini dianggap memberikan perhatian besar terhadap penderitaan korban kekerasan seksual dalam bentuk pemberian restitusi. Fenomena gunung es kekerasan seksual dianggap bisa ditangani dengan hadirnya UU ini, yakni negara hadir dalam bentuk memberikan dana kompensasi dan juga victim fund atau dana bantuan korban. Bahkan, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan pengesahan UU TP-KS adalah hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. (infopublik[dot]id, 12/4/2022).
Apakah benar UU TP-KS ini membawa angin segar bagi keamanan korban kekerasan seksual? Atau justru malah menambah maraknya kasus kekerasan/kejahatan seksual?
Jika kita mencermati, isi UU TP-KS masih sarat masalah. Frasa-frasanya multitafsir dan memicu ketakpastian. Aktivitas seksual yang dilarang menurut UU TP-KS hanyalah aktivitas yang berbasis kekerasan, paksaan, atau bertentangan dengan keinginan personal. Sedangkan aktivitas seksual tanpa paksaan atau kekerasan tidak masuk dalam bahasan kejahatan seksual.
Jika tidak jeli memandang kekerasan seksual dan kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat, mungkin sebagian besar orang akan menganggap bahwa kehadiran UU TP-KS adalah solusi pemungkas bagi kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, jika kita melihat fakta dan memerinci poin-poin penting dalam UU TP-KS, harusnya kita juga fokus pada pencegahan kasus, tidak sekadar pada penanganan korban atau pelaku pascakasus terjadi.
Kita harus memikirkan aspek sebab, tidak hanya pada aspek akibat. Dengan kata lain, kita harus mencari upaya preventif agar kekerasan seksual ini bisa diminimalkan, bahkan bisa dinihilkan daripada hanya memikirkan upaya kuratif setelah terjadinya perkara kekerasan seksual.
Maraknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual sesungguhnya akibat sistem sekuler yang memang mengakar di tengah masyarakat. Sistem kehidupan sekuler membentuk individu-individu yang cenderung menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya dalam kehidupannya. Ia tidak mau diatur terlalu banyak, bahkan sama sekali tidak mau diatur aturan agama.
Sistem sekuler ini juga membentuk manusia-manusia yang tidak mau memikirkan aspek spiritual dalam hidupnya. Mereka bersikap masa bodoh dengan agama. Kebahagiaan pun disandarkan pada materi, yaitu hanya terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, termasuk kebutuhan sekunder bahkan tersiernya. Ya, sebatas itu.
Bahagia disandarkan pada kepuasan materi, termasuk kepuasan seksual. Entah bagaimana caranya untuk mendapatkan kepuasan seksual tersebut, baik pemuasan seksual lawan jenis ataupun sesama jenis, semuanya tanpa aturan agama.
Kepuasan syahwat dinomorsatukan. Mereka merasa bebas melakukan semua itu karena menganggap Tuhan tidak punya otoritas untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Mereka ‘datang’ kepada Tuhan hanya untuk kepuasan batin dan spiritual. Pemahaman liberal dan sekuler ini sangat berbahaya apalagi bagi seorang muslim.
Nuansa dari UU TP-KS ini juga sama, sangat liberal dan bebas. Menurut UU TP-KS, jika aktivitas seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan dengan berdasar kesepakatan atau persetujuan kedua belah pihak (sexual consent), walaupun itu melanggar aturan Tuhan (baca: Islam), perbuatan itu dibolehkan oleh UU ini.
Tentu ini sangat bertentangan dengan konsep Islam yang menempatkan aturan Allah sebagai pedoman dalam berbuat, termasuk dalam hal menyalurkan keinginan seksual.
Oleh karenanya, kita bisa lihat kasus kekerasan atau kejahatan seksual di masyarakat bukannya makin berkurang, tetapi justru makin meningkat. Payung hukum UU TP-KS ini cenderung mengakomodasi pemikiran liberal.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak Draf RUU TP-KS menjadi usulan inisiatif DPR menyatakan bahwa RUU ini dapat melegalkan perzinaan karena mengandung sexual consent dan berpotensi menghasilkan seks bebas (muslimahnews.net, 6/1/2022).
-
Solusi Islam
-
Solusi Islam untuk kasus kekerasan dan kejahatan seksual sangat apik, baik penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif). Ada tiga mekanisme Islam di dalamnya, yaitu:
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Islam juga membatasi interaksi laki-laki dan perempuan selain di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan sebagainya).
Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dengan cara yang baik.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus penghapus dosa (jawabir) ketika sampai waktunya pada Yaumil Hisab nanti.
Hanya saja, ketiga mekanisme Islam yang apik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal. Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar